Tak ada yang menyangkal bahwa Su-35 adalah pesawat tempur tercanggih Rusia dengan label keunggulan multirole air superiority fighter dari generasi 4++. Lepas dari seabreg kecanggihannya, sejak awal Super Flanker ini mampu mencuri ‘hati’ publik di Indonesia.
Harus diakui, pandangan masyarakat begitu dominan menginginkan jet tempur ini sebagai pengganti F-5 E/F Tiger II TNI AU yang segera pensiun. Keinginan menggebu publik di Tanah Air setara dengan kerinduan datangnya kapal selam Kilo Class yang urung dibeli Indonesia. Dukungan pada Su-35 di ‘akar rumput’ justru mengemuka ke soal non teknis, seperti kerinduan akan kejayaan militer Indonesia saat mesra di era Uni Soviet, hingga ke soal embargo. Rusia disebut-sebut paling rendah kerawanan dalam hal embargo, bukan lantaran Rusia anti embargo, namun lebih pada kepentingan politik/ekonomi Rusia yang tak terlampau besar di Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan kepentingan AS dan Eropa Barat di Indonesia.
Sementara TNI AU sebagai user, juga menyiratkan keinginannya untuk bisa mendapatkan pesawat tempur ini, sebagai pertimbangan mulai dari urusan daya deteren, sampai transformasi teknologi, tentu tak begitu sulit karena pilot dan teknis TNI AU sudah punya pengalaman dalam mengoperasikan Su-27SK/Su-30MK yang ada di Skadron Udara 11. Senjata yang telah dibeli untuk melengkapi Su-27/Su-30 pun dapat langsung dipasang di Su-35. Beberapa rudal canggih yang telah dimiliki TNI AU seperti rudal udara ke udara R-73,R-77 dan R-27. Sementara rudal udara ke permukaan, TNI AU sudah punya Kh-29TE dan Kh-31P.
Lepas dari soal non teknis diatas, Su-35 yang oleh NATO diberi label Flanker E memang fenomenal. Su-35 yang terbang perdana pada 19 Februari 2008, sejatinya adalah derivatif heavy upgrade dari Su-27 Flanker, single seat fighter yang juga telah dimiliki TNI AU. Meski bukan identitas resmi, versi yang ditawarkan ke Indonesia ada yang menyebut sebagai Su-35BM. Keunggulan thrust vectoring yang memungkinkan manuver cobra pughachev dapat dilakukan dengan mudah, dan memberi keunggulan tersendiri saat dog fight.
Kemunculan Su-35 Super Flanker pertama di muka publik internasional yakni pada Paris Air Show di Le Bourget tahun 2013. Di Paris Air Show, Su-35 unjuk kemampuan dengan melakukan manuver yang mencengangkan dan menurut banyak pengamat sulit ditandingi jet tempur keluaran Eropa Barat, konon yang mampu menandingi hanya F-22 Raptor yang sama-sama ditenagai mesin dengan nosel pengarah daya dorong mesin (thrust vectoring engine).
Meski secara desain bak pinak dibelah dua dengan Su-27, namun secara struktur Su-35 berbeda dengan Su-27, terlebih untuk jeroan elektronik yang dibenamkan. Bicara tentang airframe, struktur Su-35 diperkuat agar memiliki usia pakai lebih lama ketimbang Su-27, serta perkuatan airframe dimaksudkan agar pesawat mampu menahan gaya akibat manuver ekstrim. Meski avionik dan sensornya baru, tapi radarnya masih mengadopsi Irbis-E PESA (passive electronically scanned array), tapi jangkauannya terbilang jauh dan secara teknologi masih lebih baik dari mechanically scanned radar, atau radar konvensional. Radar Irbis-E di Su-35 dapat mendeteksi 30 sasaran di udara secara simultan, dan mampu melakukan serangan ke delapan target secara bersamaan. Jangkauan radar ini disebut-sebut mampu mengendus sasaran hingga jarak 400 Km.
Harus diakui, pandangan masyarakat begitu dominan menginginkan jet tempur ini sebagai pengganti F-5 E/F Tiger II TNI AU yang segera pensiun. Keinginan menggebu publik di Tanah Air setara dengan kerinduan datangnya kapal selam Kilo Class yang urung dibeli Indonesia. Dukungan pada Su-35 di ‘akar rumput’ justru mengemuka ke soal non teknis, seperti kerinduan akan kejayaan militer Indonesia saat mesra di era Uni Soviet, hingga ke soal embargo. Rusia disebut-sebut paling rendah kerawanan dalam hal embargo, bukan lantaran Rusia anti embargo, namun lebih pada kepentingan politik/ekonomi Rusia yang tak terlampau besar di Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan kepentingan AS dan Eropa Barat di Indonesia.
Sementara TNI AU sebagai user, juga menyiratkan keinginannya untuk bisa mendapatkan pesawat tempur ini, sebagai pertimbangan mulai dari urusan daya deteren, sampai transformasi teknologi, tentu tak begitu sulit karena pilot dan teknis TNI AU sudah punya pengalaman dalam mengoperasikan Su-27SK/Su-30MK yang ada di Skadron Udara 11. Senjata yang telah dibeli untuk melengkapi Su-27/Su-30 pun dapat langsung dipasang di Su-35. Beberapa rudal canggih yang telah dimiliki TNI AU seperti rudal udara ke udara R-73,R-77 dan R-27. Sementara rudal udara ke permukaan, TNI AU sudah punya Kh-29TE dan Kh-31P.
Lepas dari soal non teknis diatas, Su-35 yang oleh NATO diberi label Flanker E memang fenomenal. Su-35 yang terbang perdana pada 19 Februari 2008, sejatinya adalah derivatif heavy upgrade dari Su-27 Flanker, single seat fighter yang juga telah dimiliki TNI AU. Meski bukan identitas resmi, versi yang ditawarkan ke Indonesia ada yang menyebut sebagai Su-35BM. Keunggulan thrust vectoring yang memungkinkan manuver cobra pughachev dapat dilakukan dengan mudah, dan memberi keunggulan tersendiri saat dog fight.
Kemunculan Su-35 Super Flanker pertama di muka publik internasional yakni pada Paris Air Show di Le Bourget tahun 2013. Di Paris Air Show, Su-35 unjuk kemampuan dengan melakukan manuver yang mencengangkan dan menurut banyak pengamat sulit ditandingi jet tempur keluaran Eropa Barat, konon yang mampu menandingi hanya F-22 Raptor yang sama-sama ditenagai mesin dengan nosel pengarah daya dorong mesin (thrust vectoring engine).
Meski secara desain bak pinak dibelah dua dengan Su-27, namun secara struktur Su-35 berbeda dengan Su-27, terlebih untuk jeroan elektronik yang dibenamkan. Bicara tentang airframe, struktur Su-35 diperkuat agar memiliki usia pakai lebih lama ketimbang Su-27, serta perkuatan airframe dimaksudkan agar pesawat mampu menahan gaya akibat manuver ekstrim. Meski avionik dan sensornya baru, tapi radarnya masih mengadopsi Irbis-E PESA (passive electronically scanned array), tapi jangkauannya terbilang jauh dan secara teknologi masih lebih baik dari mechanically scanned radar, atau radar konvensional. Radar Irbis-E di Su-35 dapat mendeteksi 30 sasaran di udara secara simultan, dan mampu melakukan serangan ke delapan target secara bersamaan. Jangkauan radar ini disebut-sebut mampu mengendus sasaran hingga jarak 400 Km.
No comments:
Post a Comment